Nanti Senang

Tenang, senangnya nanti saja setelah menang

Kamis, 21 Agustus 2014

Ingin Hidup

Ingin Hidup
Mentari hasilkan bayangan, bentuknya mirip dengan penghalangnya, tentunya dengan skala yang berbeda. Dia menatapku kini, aku sudah terbiasa dengannya. Matanya juga palsu, tak bisa melihatku. Dia hanya tiruan dari tokoh kartun. Duduk dia di kayu yang dipaku rapih untuk disebut meja belajar. Buku-buku berserakan berantakan karena malasnya yang empunya. Kebanyakan gak dibaca. Kadang kutambahkan buku disana dengan uang saku. Ada banyak barang berdiam disana yang gunanya entahlah, jarang terpakai.
Pintu kulewati, aku keluar kamarku. Televisi, jendela, meja, kursi, meja pendek, lemari, rak buku, karpet, komputer, dispenser, angin dan foto-foto juga kulewati. Lalu menginjak tangga satu persatu agar sampai ke lantai bawah. Dibawah tidak ada siapa-siapa. Hanya ada banyak barang yang tak ingin kuceritakan. Namun ada satu hal yang aneh disana. Saat kutekan tombol untuk menyalakan televisi, dia tetap saja mati. Tentu saja begitu, dirumahku sedang kehilangan listrik. Dan itulah kenapa aku keluar kamar setelah laptopku yang sedang kumainkan mati tiba-tiba.
Sedari dulu kerjaku hanya bermain, bermain laptop saja. Memainkan permainan yang membosankan. Apalagi bila bermainnya sendiri, sangat membosankan. Tetap saja kumainkan laptopku ini. Banyak sekali yang ingin kulakukan selain bermain ini. Seperti pergi berlibur atau berpetualang menuju ketersesatan yang mengasikkan dan membuatku merasa hidup. Namun aku benci pada ketakukan yang selalu terbayangkan saat aku ingin lakukan yang kuinginkan. Itu membuatku malas bergerak.
Ini adalah hari minggu. Tadinya aku hanya akan menghabiskan waktu dirumah bermain laptop seharian agar waktuku seharian itu menjadi tidak ada artinya. Dan saat besoknya aku akan merasa “hari kemarin itu aku tidak melakukan apa-apa”. Membuang hidup. Kadang aku menyesalinya. Kadang kurasa harus membuat sejarah hidupku yang lebih berkesan. Nah. Saat ini aku harus berpetualang atau berpindah tempat di sekitar Bandung, Cimahi, atau Lembang.
Langit pagi yang jingganya indah menjadi latar kepergianku. Bukan, aku bukannya meninggal. Aku pergi meninggalkan rumah untuk mencari sesuatu yang baru, yang benar-benar belum kurasakan sebelumnya. Kulihat atap bumi ini. Dalam hati berdoa semoga aku dapat pencerahan hari ini, dan semoga Tuhan mendengar doaku ini. Aku mulai melangkah tanpa arah, tanpa tahu kan kemana.
Suasana sekitar rumahku ini aku tak suka. Rumahku berada didalam perumahan yang asri dan nyaman, dulunya. Sekarang sudah tidak. Dulu masih banyak tanah kosong yang hijau berikan kesejukan batin bila kupandang. Dulu langit masih luas kemana-mana. Sekarang langitku sempit diapit rumah-rumah yang berlomba-lomba lebih tinggi dan lebih mewah. Yang paling kubenci, sekarang tak ada lagi Tangkuban Perahu dan Burangrang di jendelaku.  Dulu setiap kali datang kejenuhan, selalu kupandang kearah utara dimana dua gunung itu berdiri gagah bersama untuk nikmati keindahan Lembang. Sekarang kejenuhanku ini akan tambah jenuh bila kulihat karya manusia yang menghalangi hasil pahatan Tuhan. Aku bisa gila.
Setelah berjalan lama yang santai, aku sampai didepan gerbang pintu keluar perumahan. Disana bingung aku rasa. Kulihat Tangkuban Perahu dari sini. Aku pernah kesana waktu masih muda, teramat muda hingga aku sudah lupa. Kuputuskan aku akan kesana. Yang kubawa waktu itu hanya uang secukupnya dan telepon genggam. Yang kukenakan waktu itu hanya pakaian main a la zamanku, kaos dan celana sempit. Kucari jalan menuju kesana menggunakan internet di teleponku.
Disaat sedang melihat layar, suara motor dari perumahan mendekati. Motor itu lewat begitu saja. Aku memang tidak mengenal dia yang mengendarai motor itu, dia juga tak mengenalku sepertinya. Semenit kemudian, yang aku tunggu datang. Yang aku tunggu adalah supir angkot yang mengendarai angkotnya. Kutunjukkan jempolku tangan ku sebagai tanda aku ingin naik angkot itu. Supir itu menatapku kasihan lalu tersenyum sambil mengangkat tangan yang berarti “maaf, tidak bisa, sudah penuh”.  Angkot itu lalu lewati aku, sambil aku menatapnya kecewa.
Aku hampir putus asa untuk berliburan sendiri disana. Angkot kosong menuju bandung di jam segini pada hari minggu memang susah dijumpai. Kucari menggunakan internet tempat rekreasi lain didekat tempatku ini. Ada beberapa ,yaitu curug cimahi, maksudku Air terjun yang terletak di parongpong. Tempat itu juga tak kalah indah, tapi aku tetap lebih ingin ke gunung. Apalagi pagi ini suhu hangat menuju panas mulai merasuki. Aku jadi pingin kedinginan ria diatas awan.
Seketika itu pula aku jongkok termenung diam. Dan seketika itu pula pak Akung datang  dengan motor barunya yang suaranya masih lembut. Lalu kudengar suara seraknya pak Akung bertanya “ke bandung bib? Hayu ikut ajah sama bapak”. Berterima kasih dengan bahasa sunda sebelum naik ke motornya. Kita berangkat. Beliau lajukan motor ini dengan kecepatan yang membuatku berpikir “aku tak akan menyusul apapun sampai tujuan”. Tentunya aku salah. Sampai di pertigaan gerlong, dimana bila belok kiri ke Lembang dan bila kanan ke Bandung. Aku diturunkan disana karena aku tadi memintanya. Kita berpasih setelah aku pamit menggunakan bahasa Sunda. Lalu dia pergi ke Bandung, tujuannya Ujung Berung. ( bersambung )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar