Ingin Hidup
Mentari hasilkan bayangan,
bentuknya mirip dengan penghalangnya, tentunya dengan skala yang berbeda. Dia
menatapku kini, aku sudah terbiasa dengannya. Matanya juga palsu, tak bisa
melihatku. Dia hanya tiruan dari tokoh kartun. Duduk dia di kayu yang dipaku
rapih untuk disebut meja belajar. Buku-buku berserakan berantakan karena
malasnya yang empunya. Kebanyakan gak dibaca. Kadang kutambahkan buku disana
dengan uang saku. Ada banyak barang berdiam disana yang gunanya entahlah,
jarang terpakai.
Pintu kulewati, aku keluar
kamarku. Televisi, jendela, meja, kursi, meja pendek, lemari, rak buku, karpet,
komputer, dispenser, angin dan foto-foto juga kulewati. Lalu menginjak tangga
satu persatu agar sampai ke lantai bawah. Dibawah tidak ada siapa-siapa. Hanya
ada banyak barang yang tak ingin kuceritakan. Namun ada satu hal yang aneh
disana. Saat kutekan tombol untuk menyalakan televisi, dia tetap saja mati.
Tentu saja begitu, dirumahku sedang kehilangan listrik. Dan itulah kenapa aku
keluar kamar setelah laptopku yang sedang kumainkan mati tiba-tiba.
Sedari dulu kerjaku hanya
bermain, bermain laptop saja. Memainkan permainan yang membosankan. Apalagi
bila bermainnya sendiri, sangat membosankan. Tetap saja kumainkan laptopku ini.
Banyak sekali yang ingin kulakukan selain bermain ini. Seperti pergi berlibur
atau berpetualang menuju ketersesatan yang mengasikkan dan membuatku merasa
hidup. Namun aku benci pada ketakukan yang selalu terbayangkan saat aku ingin
lakukan yang kuinginkan. Itu membuatku malas bergerak.
Ini adalah hari minggu. Tadinya
aku hanya akan menghabiskan waktu dirumah bermain laptop seharian agar waktuku
seharian itu menjadi tidak ada artinya. Dan saat besoknya aku akan merasa “hari
kemarin itu aku tidak melakukan apa-apa”. Membuang hidup. Kadang aku menyesalinya.
Kadang kurasa harus membuat sejarah hidupku yang lebih berkesan. Nah. Saat ini
aku harus berpetualang atau berpindah tempat di sekitar Bandung, Cimahi, atau
Lembang.
Langit pagi yang jingganya indah
menjadi latar kepergianku. Bukan, aku bukannya meninggal. Aku pergi
meninggalkan rumah untuk mencari sesuatu yang baru, yang benar-benar belum
kurasakan sebelumnya. Kulihat atap bumi ini. Dalam hati berdoa semoga aku dapat
pencerahan hari ini, dan semoga Tuhan mendengar doaku ini. Aku mulai melangkah
tanpa arah, tanpa tahu kan kemana.
Suasana sekitar rumahku ini aku
tak suka. Rumahku berada didalam perumahan yang asri dan nyaman, dulunya.
Sekarang sudah tidak. Dulu masih banyak tanah kosong yang hijau berikan
kesejukan batin bila kupandang. Dulu langit masih luas kemana-mana. Sekarang
langitku sempit diapit rumah-rumah yang berlomba-lomba lebih tinggi dan lebih
mewah. Yang paling kubenci, sekarang tak ada lagi Tangkuban Perahu dan
Burangrang di jendelaku. Dulu setiap
kali datang kejenuhan, selalu kupandang kearah utara dimana dua gunung itu
berdiri gagah bersama untuk nikmati keindahan Lembang. Sekarang kejenuhanku ini
akan tambah jenuh bila kulihat karya manusia yang menghalangi hasil pahatan Tuhan.
Aku bisa gila.
Setelah berjalan lama yang
santai, aku sampai didepan gerbang pintu keluar perumahan. Disana bingung aku
rasa. Kulihat Tangkuban Perahu dari sini. Aku pernah kesana waktu masih muda,
teramat muda hingga aku sudah lupa. Kuputuskan aku akan kesana. Yang kubawa
waktu itu hanya uang secukupnya dan telepon genggam. Yang kukenakan waktu itu hanya
pakaian main a la zamanku, kaos dan celana sempit. Kucari jalan menuju kesana
menggunakan internet di teleponku.
Disaat sedang melihat layar,
suara motor dari perumahan mendekati. Motor itu lewat begitu saja. Aku memang
tidak mengenal dia yang mengendarai motor itu, dia juga tak mengenalku
sepertinya. Semenit kemudian, yang aku tunggu datang. Yang aku tunggu adalah
supir angkot yang mengendarai angkotnya. Kutunjukkan jempolku tangan ku sebagai
tanda aku ingin naik angkot itu. Supir itu menatapku kasihan lalu tersenyum
sambil mengangkat tangan yang berarti “maaf, tidak bisa, sudah penuh”. Angkot itu lalu lewati aku, sambil aku
menatapnya kecewa.
Aku hampir putus asa untuk
berliburan sendiri disana. Angkot kosong menuju bandung di jam segini pada hari
minggu memang susah dijumpai. Kucari menggunakan internet tempat rekreasi lain
didekat tempatku ini. Ada beberapa ,yaitu curug cimahi, maksudku Air terjun
yang terletak di parongpong. Tempat itu juga tak kalah indah, tapi aku tetap
lebih ingin ke gunung. Apalagi pagi ini suhu hangat menuju panas mulai
merasuki. Aku jadi pingin kedinginan ria diatas awan.
Seketika itu pula aku jongkok
termenung diam. Dan seketika itu pula pak Akung datang dengan motor barunya yang suaranya masih
lembut. Lalu kudengar suara seraknya pak Akung bertanya “ke bandung bib? Hayu
ikut ajah sama bapak”. Berterima kasih dengan bahasa sunda sebelum naik ke
motornya. Kita berangkat. Beliau lajukan motor ini dengan kecepatan yang
membuatku berpikir “aku tak akan menyusul apapun sampai tujuan”. Tentunya aku
salah. Sampai di pertigaan gerlong, dimana bila belok kiri ke Lembang dan bila
kanan ke Bandung. Aku diturunkan disana karena aku tadi memintanya. Kita
berpasih setelah aku pamit menggunakan bahasa Sunda. Lalu dia pergi ke Bandung,
tujuannya Ujung Berung. ( bersambung )